Ciri Training Yang Tidak Efektif
Oleh : Ubaydillah, AN
sumber: www.e-psikologi.com
Kenapa Training Itu Penting?
Hampir dapat dipastikan semua orang akan sepakat jika training itu penting. Rumus industrinya mengatakan bahwa supaya orang itu bisa well-performed maka harus dibekali skill yang bisa mengimbangi tuntutan pekerjaan (workforce). Karena skill seseorang itu mengalami proses yang disebut aging (penuaan), maka training dibutuhkan sebagai upaya re-fresing-nya. Jika training tidak dilakukan, maka akan muncul gap. Kira-kira seperti itu.
Training itu sendiri apa? Dalam literatur, training itu adalah proses transformasi informasi dari seseorang yang dinilai ahli atau expert di bidangnya kepada orang lain yang membutuhkannya. Dengan proses transformasi itu diharapkan ada perubahan pada tingkat pengetahuan (knowledge), penyikapan (attitude), dan tindakan (behavior): prilaku, kebiasaan, dan kultur kerja. Meminjam terminologinya Bloom Taxonomy, training itu adalah proses memperbaiki / mengubah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik di tempat kerja.
Training ini dalam prakteknya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu cara yang formal seperti yang sudah biasa kita saksikan dan cara yang informal. Cara terakhir ini umumnya terjadi secara kurang terencana, by accident, di mana saja, dan dengan cara yang cukup fleksibel. Bentuk-bentuknya antara lain: diskusi, sharing, dialog, pengarahan, pembinaan, drill, membaca buku, action learning, evaluating, dan lain-lain dan seterusnya.
Secara umum, manfaat training itu tidak saja dirasakan sebagai up-grading skill atau competency semata. Buku-buku manajemen sudah sering menjelaskan bahwa training itu antara lain ternyata punya manfaat sebagai berikut:
- Meningkatkan kepuasaan kerja dan ketaatan moral dalam bekerja
- Meningkatkan pemahaman terhadap nilai-nilai kerja
- Meningkatkan motivasi kerja
- Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pada proses penanganan pekerjaan
- Meningkatkan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan tehnologi atau metode kerja
- Meningkatkan kemampuan berinovasi dalam strategi
- Mengurangi tingkat bongkar-pasang penugasan
- Menaikkan citra perusahaan
- Mengantisipasi munculnya resiko kerja yang berpotensi, misalnya permainan politik kotor, pelecehan hak, pelecehan seksual, dan lain-lain
Dari banyak pengalaman, training itu akan efektif apabila dilakukan berdasarkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik atau untuk mencapai yang lebih (becoming, achieving or having more). Ini berlaku untuk pribadi dan organisasi. Tapi inipun belum titik atau masih ada catatannya. Kenapa? Kalau bicara dorongan, mungkin semua pribadi atau organisasi punya dorongan untuk mencapai yang lebih. Yang membedakan di lapangan bukan soal punya atau tidak punyanya, melainkan sekuat apakah dorongan itu. Menurut ilmunya Jet Li, yang menentukan efek pukulan itu bukan hantaman fisiknya, melainkan emosi-batin yang melatarbelakanginya.
Training juga akan dinilai efektif apabila dijadikan sebagai upaya untuk meresponi perubahan realitas eksternal yang sedang berubah. Ini misalnya training untuk meningkatkan skill teknis karena tuntutan pelayanan, training untuk meningkatkan skill mental guna meningkatkan sentuhan terhadap pelanggan, dan lain-lain. Intinya, setiap perubahan eksternal tertentu itu menuntut perubahan pada tingkat internal kita. Kata Arnold Toynebee, jurus yang tepat untuk satu perubahan itu biasanya tidak berlaku lagi jika diterapkan untuk menjawab perubahan lain. Karena itu dibutuhkan pembaharuan jurus-jurus dalam meresponi perubahan.
Training juga akan efektif apabila dilakukan secara sinergis. Ini penting juga bagi organisasi dan pribadi. Kalau organisasi hanya men-training satu orang / bagian, sementara di sana ada keterkaitan dengan bagian lain dan keterkaitan itu sangat menentukan out-put, tentu yang perlu dipertimbangkan adalah sinerginya. Percuma saja kita men training satu orang ketika kehebatannya terganjal juga oleh aspek-aspek lain akibat lemahnya hubungan yang sinergis.
Kalau organisasi langsung mengambil kesimpulan yang sifatnya "jump to conclusion", bahwa si A atau sekelompok karyawan itu butuh training ini itu, tanpa ditelaah riwayatnya sejak tahapan recruitment, inipun kurang sinergis antara hal-hal baru yang bakal diterimanya dan hal-hal lama yang sudah dimiliki. Artinya, gap skill dan knowledge di dalam diri karyawan yang akan di training tidak terjembatani dengan training.
Karena itu, tahapan yang "wajib" dilakukan organisasi, baik sebelum dan sesudah training, adalah melakukan assessment (Training Need Assessment, TNA). Dalam kertas TNA ini idealnya akan terjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut:
- Kenapa training itu diperlukan oleh si A atau sekelompok karyawan / apa motif yang melandasinya?
- Skill apa yang dibutuhkan?
- Siapa saja yang membutuhkan skill itu?
- Kapan mereka membutuhkan skill baru itu?
- Training macam apa atau training kemana yang tepat?
- Setelah dilakukan training, kemana saja skill itu akan diaplikasikan?
Begitu juga dengan individu. Sebelum menyetor sejumlah uang ke rekening lembaga training, memang idealnya perlu memikirkan aspek sinergi ini. Ini misalnya saja apakah materi training yang akan diikutinya termasuk ke dalam hal-hal yang diperjuangkan atau tidak. Ketika kita sedang memperjuangkan sesuatu dan ternyata kita membutuhkan skill baru, knowledge baru, atau informasi baru, dan itu kita atasi dengan training, maka training di sini sinergis dengan keadaan kita. Tapi bila training itu kita ikuti hanya untuk sekedar mengikuti training atau untuk mengumpulkan sertifikat, ya meskipun ini sah-sah saja dan manfaatnya ada juga, biasanya dampak perubahannya kurang signifikan.
Untuk organisasi, efektivitas training juga akan ditentukan oleh apakah akan mendapatkan dukungan kekuasaan atau tidak. Kenapa kekuasaan di sini menjadi penting? Tentu saja, untuk menerapkan skill baru atau metode baru yang punya keterkaitan dengan pihak lain dan itu mempengaruhi out-put manajemen, dibutuhkan restu penguasa organisasi. Dalam banyak kasus sering terungkap bahwa ilmu-ilmu baru yang didapat seseorang dari training nya itu mubazir karena tidak didukung oleh sistem organisasi. Bicara sistem tentu tidak bisa lepas dari kekuasaan. Jadi kalau ada organisasi mengirim anak buahnya ke luar negeri tapi kemudian orang itu dibiarkan begitu saja atau diberi posisi / tugas yang sama seperti dulu, seringkali ini hanya berupa pemborosan, bukan investasi.
Training juga akan efektif kalau yang di training itu people-nya, bukan semata informasinya di dalam otaknya. Kenapa harus people? Kalau mengacu pada konsep peningkatan kompetensi, sekedar untuk memindahkan informasi dari otak seseorang ke otak orang lain, ini pekerjaan mudah (easy to change). Dan biasanya, jika yang terjadi hanya perubahan informasi, ini kurang berpengaruh pada kinerja atau prestasi.
Karena itu, saran dari Hukum Tuhan yang perlu disadari oleh kita semua: trainer, orang yang di training, lembaga training, dan perusahaan yang mengirim anak buahnya ke suatu training, hendaknya harus diikuti dengan learning atau training itu menjadi fasilitas untuk memunculkan kesadaran learning. Training di sini harus menjadi tujuan dan instrumen. Ketika training hanya untuk training, biasanya ini hanya akan menjadi agenda seremoneal yang dampaknya bagi perubahan sangat temporer.
Learning itu cirinya adalah from the inside-out, sedangkan training adalah from the outside-in. Learning adalah munculnya kesadaran seseorang untuk mengubah dirinya ke arah yang lebih baik berdasarkan informasi, pengetahuan, dan pengalamannya. Learning adalah soal changing people. Learning adalah personalized, sedangkan training adalah generalized. Jadi, training akan efektif bagi orang yang benar-benar ingin berubah ke arah yang lebih baik.
Ciri-ciri Training Yang Belum Efektif
Dari banyak kasus yang bisa kita ambil pelajarannya, ciri-ciri umum training yang kerapkali kurang efektif itu antara lain:
Pertama, ketika training itu kurang diasaskan pada motif-motif yang paling dasar. Apa itu motif yang paling dasar? Motif yang paling dasar adalah dorongan untuk mencapai yang lebih, achieving more, atau dorongan untuk menghindari ancaman dari perubahan, avoiding from. Dalam teori motivasi dikenal ada empat penggerak prilaku manusia, yaitu:
- Keinginan untuk mengambil manfaat / untung yang potensial
- Keinginan untuk mempertahankan keuntungan / manfaat yang sudah ada
- Keinginan untuk menghindari bahaya yang potensial
- Keinginan untuk menghilangkan derita / bahaya yang sudah ada
Kaitannya dengan bahasan kita, training akan terancam efektivitasnya kalau tidak diketahui apa sasaran dari training yang kita ikuti. Tentu, agar kita mengetahui sasaran itu, yang dituntut adalah mengetahui keadaan kita (ancaman dan peluangnya), baik pribadi dan organisasi. Bahkan dalam konsepnya Baron dikatakan, orang yang mengetahui banyak hal tentang dunia, namun tidak mengetahui keadaan-dirinya (pribadi atau organisasi) sama artinya dengan tidak mengetahui apa-apa. Kenapa? Karena pengetahuan kita tentang dunia tidak bisa kita gunakan.
Kedua, training akan terancam manfaatnya apabila training itu diadakan / diikuti hanya sekedar untuk menghabiskan anggaran pengembangan SDM atau program kolektif yang kesannya "terpaksa" diadakan atau juga training itu terpaksa harus kita ikuti karena tugas dari atasan / kantor. Memang ini kasus yang sangat spesifik dan di lapangannya tidak akan diungkapkan secara sevulgar yang bisa dibahasakan.
Ketiga, training akan terancam efektivitasnya apabila kita mengikuti training yang tidak ada relevansinya dengan kapasitas kita atau perjuangan kita. Dalam beberapa kasus yang kerap saya jumpai, ada seorang kepala cabang kantor anu di daerah anu. Karena ada penugasan dari atasan yang di Jakarta dan yang bersangkutan punya tugas lain, akhirnya yang disuruh mengikuti training adalah anak buahnya atau staffnya.
Sejauh materi training itu hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi semata, mungkin tidak ada masalah. Tapi bila training itu didesain untuk mengubah iklim kerja, budaya kerja, sikap mental terhadap kerja, di sinilah masalah itu muncul. Sebagai contoh training tentang aplikasi konsep CBHRM (Competency-based Human Resource Management) atau konsep lain. Untuk menerapkan konsep itu tidak cukup hanya dibekali pengetahuan baru, apalagi hanya satu orang. Bahkan dalam prakteknya, training semacam itu tidak cukup hanya diikuti oleh seorang direktur HRD sekalipun. Training semacam ini, apabila yang diinginkan adalah perubahan yang menyeluruh, dibutuhkan kesamaan visi dan paradigma supaya bisa muncul kesamaan langkah dan penyikapan.
Keempat, training akan terancam efektivitasnya apabila training itu tidak didasari oleh data-data, kamus kemampuan, analisis atau observasi lapangan yang sesuai. Ini berlaku untuk individu dan lebih-lebih organisasi. Kenapa? Biasanya, training itu dirasakan penting karena terkait dengan apa yang di dalam manajemen disebut dengan istilah poor performance, pencapaian prestasinya rendah.
Pertanyaan yang butuh jawaban adalah, kenapa orang itu prestasinya rendah. Dalam prakteknya, orang yang prestasinya rendah itu tidak selalu kurang kemampuan atau minus skill. Ada kalanya disebabkan oleh, misalnya saja, orang tidak punya komitmen dalam mengerjakan tugas, sikap mentalnya buruk, tidak bisa memberikan respon yang positif terhadap lingkungan, merasa sudah bekerja sebaik mungkin, dan lain-lain. Jadi kalau yang butuh ditraining itu mentalnya, namun yang kita tingkatkan itu skill-nya, ini menjadi tidak match. Begitu juga sebaliknya. Artinya, yang dibutuhkan di sini adalah penilaian yang seakurat mungkin terhadap kebutuhan dan keadaan.
Kelima, seperti yang sudah kita singgung di muka, mau training secanggih apapun, learning harus dijadikan tindak lanjutnya. Secara teori sering dijelaskan bahwa learning inilah cara belajar yang paling pas untuk orang yang sudah melewati usia belajar dengan "cara akademik" (orang dewasa). Orang dewasa akan belajar dengan bagus apabila:
- Muncul dorongan untuk berubah ke arah yang lebih bagus
- Muncul dorongan untuk menyelesaikan persoalan yang menghadang / menghimpit (diancam atau merasa terancam)
- Materinya relevan dengan praktek hidup sehari-hari
- Manfaat atau keuntungannya sangat jelas bisa dibaca pikiran
- Punya kebebasan untuk mengaplikasikan ide-ide atau gagasannya sendiri sekreatif mungkin
- Sedang memperjuangkan sesuatu yang dinilainya penting (learning by doing)
- Lingkungan yang suportif dan kondusif (action learning)
Jadi intinya, learning itu adalah self-activity yang sangat dibutuhkan paska mengikuti training atau selama dalam menjalani training.
Learning Any New Skill
Menyinggung soal self activity itu, Gordon Training International mengembangkan konsep yang mereka sebut Learning Any New Skill (Linda Adam, San Diego Daily Transcript, 2004). Konsep ini bisa kita jadikan acuan untuk mengembangkan skill yang kita dapatkan dari training, entah itu mental skill atau job skill. Dalam konsep itu dijelaskan bahwa proses learning terhadap berbagai skill baru itu umumnya melewati empat tahap. Ini juga bisa dijadikan acuan bagi organisasi. Keempat tahap itu adalah:
Pertama, unconsciously unskilled atau kita belum sadar kalau skill kita itu perlu ditingkatkan. Orang yang masih pada tahap ini punya ciri-ciri antara lain:
- Tidak tahu skill yang dimiliki, tidak tahu skill apa yang dibutuhkan oleh pekerjaan yang dilakukannya.
- Tidak sadar atau tidak tahu kelemahannya di bidang yang ia geluti.
- Mungkin menolak atau menganggap tidak penting keahlian baru yang sebetulnya dibutuhkan.
Kedua, consciously unskilled atau kita sudah sadar kalau kita ini butuh peningkatan skill. Orang yang sudah tahap ini punya ciri-ciri antara lain:
- Sudah sadar skill yang dimilikinya atau sudah tahu skill yang dibutuhkan oleh pekerjaannya.
- Sudah sadar kelemahan yang dimiliki atau kekurangannya. Biasanya orang seperti ini sudah mencoba untuk menerapkan skill baru.
- Tahu dan yakin bahwa kalau dirinya mengembangkan skill yang ia miliki atau menutupi kekurangannya akan memperbaiki kinerjanya
- Sudah punya perencanaan yang matang untuk meningkatkan skill yang dibutuhkannya dengan cara yang pas untuk dirinya dan menjalankannya
Ketiga, consciously skilled atau kita sudah sadar kalau kita ini sudah mendapatkan skill yang kita butuhkan. Ciri-ciri orang yang sudah tahap ini antara lain:
- Sadar bahwa yang bersangkutan telah bisa menggunakan skill barunya
- Masih butuh konsentrasi dan berpikir untuk bisa menerapkan skill baru itu
- Sudah bisa menerapkan skill barunya tanpa harus ada asistensi
- Belum bisa menggunakan skill barunya secara alamiah (masih butuh berpikir dan berkonsentrasi)
- Sudah bisa menunjukkan kebolehannya pada orang lain namun belum bisa mengajarkannya kepada orang lain
Keempat, unconsciously skilled atau kita sudah menguasai skill tertentu secara alami (tidak sadar). Ciri-ciri orang yang sudah ada pada tahap ini antara lain:
- Skill yang dimilikinya sudah bisa diterapkan secara alami, muncul sendiri tanpa harus dipikirkan atau sudah menjadi "second nature"
- Bisa mengerjakan yang lain / menghendel pekerjaan lain tanpa saling terganggu
- Bisa mengajarkan skill nya kepada orang lain tetapi terkadang susah menjelaskan karena segalanya berjalan secara naluri
Kesimpulannya, training apapun yang kita ikuti itu pada dasarnya belum secara otomatis melahirkan perubahan yang fundamental (kinerja / prestasi) kecuali harus dilanjutkan dengan learning. Karena itu, yang paling butuh untuk ditraining bukan saja skill nya melainkan juga people nya. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment